Senin, 05 Desember 2016

Munajat Yang Terjawab



Munajat yang Terjawab
Sepertiga malam, munajat berbondong-bondong terpanjatkan, ketika semua orang di dunia ini tengah terlelap bermain mimpi mereka. Ketika semua orang berkencan dalam mimpi, warga pesantren telah bangun, untuk berkencan pada rabbnya (Alloh swt). Semakin larut mereka semakin khusuk mencurahkan isi hati pada rabbnya. Dan disinilah cerita itu akan aku mulai. Namaku adalah Muhammad Zainuddin Aziz, aku adalah ketua pengurus sekaligus dewan asatid di pesantren  “PESANTREN NURUS SYAFA’AT ” pesantren yang sangat modern tapi masih menjunjung norma-norma agama yang tinggi. Yang letaknya di daerah kediri jawa timur. KH.Abdur Rohman Wahid beliau adalah penggasuhnya.
Di suatu pagi dan itu pagi sekali ketika orang-orang masih lelap dengan tidurnya, tepatnya masih pukul 01:00 pagi, tiba-tiba aku di panggil oleh abah yai. Alhamdulillah abah yai sepertinya menjadikan aku sebagai tangan kanannya. Pagi itu abah yai berkata padaku ”Zain kamu ngerti anak ku seng pertama toh”, ”enggeh kulo semerap bah”, ”iku lho le kowe kan wes suwe neng kene, kowe yo wes dewasa, pantes lah nek  wayahe duwe rumah tangga”, ”engge bah, tapi maksut e njenengan niku nopo kulo mboten ngertos”, aku masih bertanya-tanya ”ngene lho le, kowe gelem ta tak jodohne karo anak ku wedok seng pertama, shofiya” lanjut abah yai. Akupun  pun berfikir dan menjawab pertanyaan abah yai ”agunge pengapunten nggeh bah kulo pikir-pikir riyen kadose  kulo ngge dereng saget dados imam ingkang sae” sela ku, ”yo, kowe pikir pikir dipek”.
Setiba di kamar akupun terdiam seribu kata sambil berfikir apakah ini mimpi atau apa, sampai bisa di jodohkan dengan seorang anak kyai terpandang, tapi tetap saja aku masih merasa kurang pantas jika harus bersanding dengan neng shofiya. Sepulang dari ndalem aku mulai melakukan rutinitasku yakni jadwal kencanku dengan rabbku dan ketika itu aku menambahnya dengan sholat istikhoroh dan meminta petunjuk kepada rabbku juga berdoa agar apa yang telah di pilihkan abah yai untukku memang telah di jodohkan alloh kepadaku, tiba-tiba ditengah doaku ada salah satu temanku yang memang dialah yang paling akrab denganku, namun dia masuk ke pesantren ini 1 tahun setelah aku masuk ke sini. Dia memasuki kamarku sebut saja kang lutfi panggilan akrabku padanya, tapi para santri memanggilnya ustad lutfi, ya dikarenakan dia memang mengajar sekolah madin di pesantren. Kang lutfi memandangiku dengan serius “wah..wah kang ane liat ente makin khusuk aja kang, ada apa gerangan kang?? Lagi minta jodoh ke alloh ta kang?” ledek kang lutfi, “ente itu ada-ada aja akh, bukannya ente yang sering minta jodoh ke alloh?” balasku, “he....he...he...(meringis) ente tu akhy yang paling perhatian ke ane” balasnya sambil meninggalkan kamarku, ”selalu lupa salam orang ini” gerutuku.
Pukul 08:00 saat ketika aku akan berangkat mengajar madin tiba-tiba berpapasan dengan neng shofiya yang saat itu mau pergi ke alfamart dekat pesantren, ”astaghfirulloh, ya rabbi jagalah pandangan hambamu ini” doa dalam hati kecilku. Setiba dalam kelas akupun memulai salam pembuka untuk mengawali pembelajaran, ketika para santri membaca nadhom sejenak terlintas dalam fikirku apa yang aku lihat tadi “astaghfirulloh ya rabbi, kenapa ini terus terfikirkan pada hamba ya rabb” curhatku dalam hati. Sepulang dari mengajar, aku masuk kembali ke kamarku kemudian aku mulai menghubungi orang rumah untuk menanyakan penawaran abah yai tadi pagi. “tuu....tut...tut...(nada tunggu)” “assalamualaikum” salam umyku, “wa’alaikumsalam umy, pripun kabare panjenengan?”, ”alhamdulillah sae lee, sampeyan pripon kabare lee? Mboten mantok nopo umy kangen le!! Umy manton ngipi sampeyan le, tapi alhamdulillah ngipine umy sae!!” sahut umyku “ngge insyaalloh mangke kulo badhe izin mantok ten romo kyai my, ridhone mawon ngge my, agunge pengapunten kulo sampun dangu mboten mantok” jawabku,”yo wes le, ati-ati ngge, di jogo tenanan atine kudu mung damel alloh swt mawon sedanten”, ”ngge umy,assalamualaikum” pamitku sebari menutup telfon. Seusai aku menelfon aku pergi ke ruang ndalem abah yai untuk meminta izin akan pulang hari ini.  “assalamualaikum” sebari berjalan dengan lulut sambil menghampiri abah kyai, ”wa’alaikumsalam warrohmah, ono opo le?” tanya abah kyai, ”agunge pengapunten abah, kulo badhe pamit kundur” izinku “oh moleh,,,iyyo wes ati-ati, balik kapan le?” tanya abah lagi “mboten dangu abah, namung 2 dinten mawon” sahut ku “yo wes budalo, ati-ati yo!!!” pesan kecil abah kyai  “njeh abah, assalamualaikum”  salamku.
3 jam aku lalui di perjalanan, ”alhamdulillah sampai rumah juga” syukurku dalam hati sambil melepas helm, Tok...tok....tok....  “assalamualaikum“ ketukan tanganku yang aku benturkan  pintu, ”wa’alaikumsalam” sahut putri adikku yang sambil berlari membuka pintu, ”subhanalloh mas aziz” teriak putri kegirangan sambil mencium tanganku, yah putri memanggilku mas aziz karena memang akrabnya di desa panggilan itu dari kecil. “kemana umy dik?” tanyaku, ”lagi ke kebun mas nyari durian masak” jawab putri, ”wah kayaknya duriannya lagi banyak yang matang ya dek?” tanyaku lagi sebari menuju kamar, ”iya mas kan lagi musimnya,lhoo mas kok tumben pulang? Padahal kan belum hari raya mas? padahal biasanya kalo hari raya saja pulangnya mas!” tanya putri sambil menghidangkan minuman ke pada ku, ”he...he...he iya dik, mas di suruh abah kyai pulang dik” jawabku, ”lho mas di pulangkan, sudah nggak mondok lagi gitu ta mas?” tanyanya sambil terkejut, ”huss....ngawur kamu itu nggak dik, cuma pulang saja, kamu nggak kangen mas mu ini ta dik?” godaku “ya kangen toh mas, mas ini su’udzon saja” rengek adikku. “assalamualaikum...” umyku  datang dari kebun dan membawa 3 buah durian yang sudah masak, “wa’alaikumsalam warohmatulloh” sahutku dan adik, ”kamu sudah sampai toh le, sudah lama menunggu umy?” tanya umy, ”mboten  umy,aziz baru sampai “, “yo wes le,,istirahat dulu sana, toh kamu pasti capek, kediri ke sini kan lumayan jauh le” suruh umy sambil berjalan  ke arah dapur, ”ngge umy” jawabku. “alhamdulillah baiti jannati, syukron ya rabbi” rasa legaku yang amat aku syukurkan hanya kepada sang penguasa rasa yaitu Alloh SWT.
Pukul 4 sore setelah pulang dari masjid, aku mulai menghampiri umyku yang sedang duduk santai di depan teras rumah. ”assalamualaikum umy” salamku bersamaan dengan adik, kemudian adik langsung masuk. ”my putri masuk duluan ya, mau ngaji dulu” ucap adik. ”iya, kalau sudah selesai ngaji tolong ya bereskan ruang tamu”, ”ngge umy” jawab adik sambil bergegas pergi kekamarnya. Kami duduk bersama dan aku mulai memberi tahu apa maksud dari kepulanganku ”my, aziz pulang mau minta restu umy?” tanyaku pelan-pelan,”restu opo to le” tanya umy, ”anu my aziz minta restu” jawabku dengan gugup. ”iya le mau minta restu apa” tanya umy penasaran. ”my aziz di utus abah untuk menikahi anak pertamanya abah kyai, neng shofiya” jawabku sedikit lega. ”oh, iya iya memang di umur kamu yang sekarang kamu sudah pantes untuk membina keluarga le, umy selalu mendukung apapun yang menurutmu itu baik & benar” jawab umy tersenyum. ”jadi umy merestuinya, makasih ya umy” kegembiraanku terasa ketia umy merestuiku sampai-sampai aku memeluk umy terlalu erat “tapi jangan lupa le, jadilah imam yang baik buat istri kamu, bina dia sesuai syariat agama, dan juga jangan pernah menyakiti hati maupun fisiknya jika dia salah, ingatkan saja jangan di ingatkan dengan cara yang keras yho le, umy merestuimu le, karena umy yakin pilihan abah kyai pasti sudah diistikhoroi le” tutur umy ”nggeh umy, aziz selalu ingat apa kata umy” jawabku. Adzan maghrib berkumandang aku dan keluargaku menunaikan kewajiban kami.
Keeseokan harinya aku berpamitan dengan umy dan adikku untuk kembali ke pondok, ”umy, aziz pamit mau kembali ke pondok”, ”yo wes hati hati di jalan” jawab umy, ”lho mas kok buru buru mau kembali ke pondok” sahut putri, ”iya soalnya mas mu ini masih ada urusan di pondok nduk” sahut umy, ”ealah mas, putri kan masih kangen sama mas” ucap putri sambil memandangku. ”iya dek mas juga masih kangen sama adek tapi mau gimana ladi mas sudah di panggil ke pondok, mas janji kapan-kapan mas pulang lagi” ucapku ke putri, ”kalo pulang bawa mbak ipar buat putri ya mas!!!” gurau adikku, aku hanya tersenyum mendengar pesan adikku itu.
Akhirnya aku berangkat ke pondok tiga jam perjalanan yang harus kulampaui untuk dapat sampai di kediri. Setiba di pondok akupun langsung ke ndalem “assalamualaikum” salamku, ”wa’alaikumussalam” jawab neng shofiya, ”abah kyai wonten” tanyaku, ”wonten, sekedap kang kulo timbalaken” sahut neng shofiya sebari masuk ke ndalem, beberapa menit kemudian abah kyai keluar, namun kembali masuk ke ndalem lagi, akupun sabar menunggu namun aku bingung kenapa abah kyai masuk kembali. Tiba-tiba 3 menit lagi abah kyai kembali keluar untuk menemuiku dan neng shofiya juga ikut serta di belakang abah kyai “wes suwe le?” tanya abah kyai  “enggal mawon bah” jawabku, ”iki putriku shofiya, wes kenal” tanya abah kyai lagi “mboten bah, namung kepireng asmine mawon” jawabku lagi, ”iki nduk zainuddin aziz, salah sijine ustad kene, kowe arep tak jodohne karo iki, piye menurutmu nduk” tanya abah kyai yang memperkenalkanku pada neng shofiya, ”kulo sendiko dawuh panjenengan mawon by” jawabnya, ”yo wes le, piye keputusane  keluargamu le?” tanya abah kyai padaku, ”alhamdulillah umy sampun ngerestui” sela lirihku “trus piye lamarane, kapan isone le?” tanya abah kyai “kulo sendiko dawuh panjenengan mawon” seruku “yo wes mene keluargamu gowo rene yo le, kabarono langsung akad yo le” perintah abah kyai. Aku sedikit kaget mendengar hal itu, karena bagiku itu terlalu cepat, tapi apa boleh buat, aku hanya ingin mendapat hidup yang barokah, perantara hal ini, “inggih bah sendiko dawuh, kulo pamit kundur assalamualaikum” izinku lagi untuk pulang kembali “wa’alaikumsalam” jawab abah kyai dan lirih neng shofiya. Seusai dari ndalem abah kyai, aku menuju kamar asramaku untuk mengemasi baju-bajuku yang ada dalam almari, “assalamualaikum” sahut salam dari luar ruangan “wa’alaikumsalam siapa?” tanyaku “lutfi kang, boleh masuk kang?” tanya kang lutfi “boleh-boleh, buka saja akhy” suruhku, kang lutfi terkejut dan bertanya “lhoo kang mau kemana kok kemas-kemas banyak sekali, ada apa kang?” “anu... akh ane mau pamit pulang” selaku, “pulang ndak balik ta kang? lho kenapa kang?” kaget dan bertanya-tanya  “ane di pulangkan abah yai akh” sahutku “lhoo kok bisa kang kenapa? Wah akang nggak bisa liat neng shofiya nikah dong, padahal bentar lagi kabarnya neng shofiya mau nikah kang, kayaknya sih di jodohkan kang, kira-kira akang hadir kan?”  cakap kang lutfi “insyaalloh ane pasti hadir akh, sudah ya akh, ane buru-buru mau pulang, nitip simpankan kitab-kitab ane ya akh, kalo ane ada kesempatan ane ambil, salam pamit juga ke rekan-rekan ya akh ane nggak bisa pamitin satu-satu, salam maaf juga ke semuanya, syukron akh, assalamualaikum” pamitku sambil tergesa-gesa mnggendong tas hitamku”, “ya kang hati-hati, waalaikumsalam” sahut kang lutfi “lho...lho ada apa toh kang zain dipulangkan abah yai, apa ada problem ya?” pikir kang lutfi kebingungan.
2 jam setengah kulalui dalam perjalan dengan sangat ngebut sekali. Setelah sampai di rumah aku langsung mencari umy “assalamualaikum, umy....umy” teriakku sambil tergesa-gesa “wa’alaikumsalam, ya alloh lee....ada apa lagi le, apa ada yang ketinggalan le?” tanya umy, ”mboten umy, kulo sampun sampek ten pondok, kulo di utus abah kyai kundur maleh my” jawabku dengan nafas senin-kamis kata orang-orang menjuluki hal ini “duduk dulu le, pasti capek, kan jauh, tenang dulu umy ambilkan minum lee..” bergegaslah umy ke dapur dan menuangkan segelas air dingin untukku “di minum dulu le” umy menyuguhkannya padaku, ”begini my, dawuhe abah kyai, mbenjeng njenengan di utus mriko, kulo di utus ngelangsungaken lamaran kale sekalian akad my” ucapku memberi tahu umy dengan sedikit tenang karena minum yang di suguhkan umy padaku, sementara itu handphone umy yang di meja berbunyi dering sholawat ala pesantren yang di jadikan umy sebagai nada dering telfonnya, “sebentar ya le, umy angkat dulu”  ternyata telfon itu dari abah kyai, diangkatlah oleh umy “assalamualaikum”, “wa’alaikumsalam”, jawab abah yai, “bu.... pripon kabare? Mugi-mugi sae bu, kulo badhe sanjang, njenengan siap-siap ngge bu, mbenjeng njenengan mriki, mbten usah mbeto nopo-nopo bu, mahar mawon, ngapunten ngge bu gupuh mawon, sabda kanjeng nabi muhammad saw perkara ingkang sae niku kudu cepet-cepet di laksanaaken bu, nopo meleh seng namine nikah, pripon  bu?” sahut abah yai lagi “alhamdulillah kulo sekeluarga sae bah, enggeh bah, niku perkara sae, ngge kulo mbenjeng sekeluarga mriko, namung panjenengan nedi mahar nopo saking putra kulo?” tanya  umy, “seadanya saya terima bu, yang penting ikhlas, nabi adam mawon mahare namung sholawat bu” seru abah kyai, umypun lega mendengar perkataan abah kyai tersebut, ”alhamdulillah ngge bah” sahut gembira umy. Setelah itu, umy langsung mengabari sanak saudaranya yang jarak rumahnya hanya berbeda desa dan kecamatan saja, dan bersyukurnya semua sanak saudara umyku sudah punya handphone, jadi praktis ketika mengabari mereka. Ketika sanak saudara telah di kabari, umy bergegas membeli seserahan yang sudah jadi adat kebiasaan saat ada lamaran dan pernikahan. Umy membelinya bersamaku.
Keesokan harinya ketika semua keluargaku berkumpul dengan hanya membawa keluarga dan kerabat dekat saja, yang hanya kami muat dengan 2 mobil kijang,1 innova,1 avanza yang aku kendarai bersama umy, adikku, dan adik terkecil dari H. Syaiful arifin (alm) ayahku yang menyetir mobil yang kami tunggangi. Semua bergegas menuju pondok pesantren NURUS SYAFA’AT. “Alhamdulillah, sudah sampai” syukur umy, ”umy, aziz gemetar umy” bisikan rintihku, aku memang sangat gemetar sekali saat itu, karena memang ini baru pertama kalinya aku melamar sekaligus melangsungkan akad, bagiku ini terlalu cepat karena sebelumnya aku tak pernah berfikiran untuk menikah, yang kupinta pada tahajjudku hanyalah seorang bidadari dunia yang bisa aku bawa keliling surga esok bersamaku, “sudah le, itu wajar, bismillah saja pasrah pada yang maha berkehendak“, sahut umyku. “assalamualaikum” salam keluargaku memasuki ruang ndalem, yang ternyata kedatangan kami telah di tunggu-tunggu oleh abah kyai sekeluarga juga seluruh dewan asatid pesantren NURUS SYAFA’AT yang juga kerabat dekat ku. Serentak para dewan asatid terkejut apalagi kang lutfi, karena saat itu kang lutfilah yang berharap aku hadir dalam pernikahan neng shofiya dan ternyata aku memang menghadirinya, namun bukan sebagai tamu undangan melaikan akulah mempelai prianya. “subhanalloh” terkagumnya kang lutfi yang tak di sangka-sangka bahwa aku yang di jadikan menantu abah kyai. Disambutlah keluargaku dengan ramah tamah oleh abah kyai dan kami segera melangsungkan pernikan tersebut, dan abah kyailah yang menjadi penghulu ku bersama neng shofiya. “zawwajtuka MUHAMMAD ZAINUDDIN AZIZ BIN H.SYAIFUL ARIFIN almarhum  bi NUR SHOFIYATUL JANNAH WAHID BINTI KH.ABDUR ROHMAN WAHID bi mahrin alfu alfin rubiah wa mushaf al-qur’anul utsmani”, “qobiltu nikakhaha watazwijaha bil mahril madzkur” jawabku, kemudian abah yai bertanya pada saksi nikah “khalan?” “halal” jawab saksi serentak, kemudian di doakanlah pernikahan kami ini agar menjadi pernikahan yang sakinah mawaddah dan warrohmah.
Malam ini adalah malam pertama aku tidur di temani seorang bidadari surga yang jelas-jelas halal seutuhnya bagiku “oh ya rabbi terima kasih atas nikmat dunia yang engkau berikan ini” bentuk syukurku pada rabbku. Sebelum aku mulai menyentuh istriku, aku ingin sekali-kali berbincang-bincang dengannya, namun aku sedikit malu. Ku biarkan istriku yang memulainya, namun setelah aku mengganti pakaian pengantinku dengan pakaian tidur, dia mulai berbicara padaku. “assalamu'alaikum mas”, lirih suaranya yang serak-serah basah namun sejuk ketika di dengar, mulanya aku bingung, aku harus memanggilnya dengan sebutan apa, tak berfikir panjang akupun menjawabnya “wa’alaikumsalam, iya ada pa dek?” tanyaku dengan nada lirih mengikutinya. “apa mas tidak bahagia dengan pernikahan ini mas? Aku ingin mas menjadikan aku sebagai ladang mas malam ini, apapun sesuka mas, aku adalah ladang mas untuk kapan saja” pintanya, “alhamdulillah dek, mas bahagia dengan apa yang di berikan alloh pada mas, mas akan berusaha berikan adek nafkah lahir batin dek” jawabku, namun sepertinya shofiya sedikit resah, mungkin karena aku belum menyentuhnya sama sekali. Setelah kami mengganti pakaian, akupun mengajak istriku sholat sebelum melakukan hubungan suami istri, seperti apa yang pernah aku kaji pada kitab fatkhul izzar ketika masih nyantri dulu. “dek mari sholat” ajakku, “iya mas, shofiya ambil wudhu dulu mas” jawab istriku. Setelah kami menyelesaikan sholat, akupun mulai mendekatinya, namun aku tetap berpegang pada apa yang di sabdakan Rosululloh SAW yang juga sering aku kaji dalam kitab al-adzkar.

                       BERSAMBUNG.............